G 30 SPKI
Menjelang akhir masa demokrasi Terpimpin, PKI memperoleh kedudukan
strategis dalam percaturan politik di Indonesia. Kondisi ini diperoleh
berkat kepiawaian Dipa Nusantara Aidit dan tokoh-tokoh PKI lainnya untuk
mendekati dan mempengaruhi Presiden Soekamo. Melalui cara ini, PKI
berhasil melumpuhkan lawan-lawan politiknya sehingga suatu saat PKI akan
dengan mudah dapat melaksanakan cita-cita menjadikan negara Indonesia
yang berlandaskan atas paham komunis.
Kendati demikian, PKI belum berhasil melumpuhkan Angkatan Darat yang
pimpinannya tetap dipegang para perwira Pancasilais. Bahkan pertentangan
antara PKI dan Angkatan Darat semakin meningkat memasuki tahun 1965.
PKI melempar desas-desus tentang adanya Dewan jenderal di tubuh AD
berdasarkan dokumen Gilchrist. Tuduhan itu dibantah AD dan sebaliknya,
AD menuduh PKI akan melakukan perebutan kekuasaan.
PKI menganggap TNI terutama Angkatan Darat merupakan penghalang utama
untuk menjadikan Indonesia negara komunis. Oleh karena itu, PKI segera
merencanakan tindakan menghabisi para perwira TNI AD yang menghalangi
cita-citanya. Setelah segala persiapan dianggap selesai, pada tanggal 30
September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan. Aksi
ini dinamai Gerakan 30 September atau G 30 S/PKI. Gerakan ini dipimpin
Letkol Untung Sutopo, selaku Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa.
Pada 1 Oktober 1965 dinihari pasukan pemberontak menyebar ke segenap
penjuru Jakarta. Mereka berhasil membunuh dan menculik enam perwira
tinggi Angkatan Darat. Enam perwira Angkatan Darat korban keganasan PKI
tersebut ialah
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani,
2. Mayor Jenderal R. Suprapto,
3. Mayor Jenderal S. Parman,
4. Mayor Jenderal M.T. Haryono,
5. Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan
6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution (Menteri Kompartemen/Kepala Staf
Angkatan Bersenjata) yang menjadi sasaran utama berhasil meloloskan diri
dari upaya penculikan. Akan tetapi, puterinya, Ade Irma Suryani
meninggal setelah peluru penculikmenembus tubuhnya. Dalam peristiwa itu
tewas pula Lettu Pierre Andreas Tendean, ajudan A.H. Nasution yang
dibunuh karena melakukan perlawanan terhadap PKI. Demikian pula Brigadir
Polisi Karel Satsuit Tubun yang tewas ketika mengawal rumah Wakil
Perdana Menteri(Waperdam) II Dr. J. Leimena, yang rumahnya berdampingan
dengan Jenderal A.H. Nasution.
Di perkampungan Lubang Buaya para pemberontak PKI beramai-ramai menyiksa
dan membunuh para perwira TNI AD. Mayat-mayat mereka dimasukkan ke
dalam sumur kering dengan kedalaman 12 meter. Para pemberontak kemudian
menyumbat lubang tersebut dengan sampah dan daun-daun kering.
Bagaimanakah sesungguhnya kejadian saat itu ?
Simaklah penuturan saksi mata peristiwa G 30 S/PKI, Letkol (Purn) Pol. Sukitman yang lolos dari upaya pembunuhan!
Pada 30 September malam dan menjelang dinihari 1 Oktober 1965,
saya dengan mengendarai sepeda tengah patroli di Jalan Iskandarsyah,
Kebayoran Baru. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Ketika saya cek,
saya dihadang pasukan Cakrabirawa. Saya kemudian diseret dan dimasukkan
di kabin sebuah bus di samping sopir. Dengan todongan senjata, kedua
tangan saya diikat ke belakang, dan kedua mata saya ditutup kain. Saya
baru tahu beberapa hari kemudian tembakan itu berasal dari rumah
Jenderal D.I. Panjaitan.
Dari bus, saya kemudian diturunkan di sebuah tempat. Dan ketika
tutupan mata saya dibuka, masih dalam suasana remang-remang saya melihat
di sekitarnya telah penuh dengan pasukan sukarelawan (sukwan) dan
sukarelawati (sukwati) Pemuda Rakyat dan Gerwani. Saya kemudian dibawa
ke dalam tenda. Di sini saya mendengar kata-kata. Yani wis dipateni
(Yani telah dibunuh). Saya juga melihat ada orang yang telentang
berlumuran darah, dan ada yang duduk sambil diikat tangan dan ditutup
matanya. Kemudian saya ditawan di sebuah rumah, bentuknya seperti
sekolah emperan, karena ada bangku-bangku dan papan tulis. Di tempat
ini, menjelang matahari terbit, saya menyaksikan satu persatu tawanan
itu diseret dan kemudian diceburkan ke sumur, mereka kemudian ditembaki.
Tembakan diarahkan dari kepala hingga kaki. Sementara para sukwan dan
sukwati dengan bersorak-sorak meneriakkan yel-yel Ganyang Kapbir
(kapitalis birokrat) dan Ganyang nekolim.
Saat penyiksaan, saya benar-benar ngeri dan takut. Saya hanya pasrah
kepada Tuhan. Saya sendiri tidak tahu, kalau yang disiksa itu para
pahlawan revolusi. Waktu itu saya menyangka mereka para kapbir seperti
yang disebutkan oleh PKI. Saya juga tidak tahu kalau tempat yang banyak
pohon karetnya itu Lubang Buaya.
Di sini, saya juga melihat seorang berbadan pendek dan gemuk terikat
tengah diseret-seret dengan todongan senjata. Matanya ditutup. Kemudian
orang itu, didudukkan di kursi dan dipaksa untuk menandatangani sesuatu.
Tapi ketika orang itu menolak, ia diikat kembali. Kemudian diseret dan
diceburkan ke sumur, untuk kemudian ditembaki seperti yang dialami
rekan-rekannya. Saya baru tahu kemudian, orang itu adalah Jenderal S.
Parman. Setelah semua korban dimasukkan ke sumur, kira-kira pukul 08.00
pagi, para sukwan dan Sukwati beramai-ramai menutupi sumur dengan sampah
dan daun pohon yang telah kering. Saya kemudian dipanggil Lettu Dul
Arif dan Letnan Siman, keduanya dari Cakrabirawa yang menjadi komandan
penculikan para jenderal. Lettu Dul Arif mengembalikan senjata saya,
carabine jungle yang sudah patah kayunya.
Pada sore hari, saya dibawa Lettu Dul Arif ke sebuah lapangan di
Halim Perdanakusuma, dekat Penas. Kemudian saya bersama Iskak, sopir
Lettu Dul Arif mengambil nasi ke suatu tempat dekat markas provost AURI.
Kemudian kembali iagi ke daerah Halim untuk membagi-bagikan nasi. Di
sini saya tertidur sampai pagi.
Pada 2 Oktober 1965, saya melihat satuan-satuan Cakrabirawa
telah berganti pakaiannya. Bila sebelumnya mereka memakai jaket dan
seragam coklat, kini loreng-loreng. Pada sore hari, saya berada
sendirian, karena lelah saya berteduh di bawah kolong bus dan kemudian
tertidur. Dalam keadaan sadar tidak sadar, kemudian saya mendengar
suara-suara tembakan. Mendengar tembakan, pasukan yang dipimpin oleh Dul
Arif lari kocar-kacir menggunakan truk-truk dan saya ditinggalkan
sendirian. Saya menganggap kejadian ini sebagai mukjizat dari Allah swt.
Bagaimana jadinya kalau saya tidak tidur, dan ikut bersama dengan
pasukan pemberontak. Atau mereka menembak mati saya terlebih dahulu.
Setelah berhasil membunuh beberapa perwira TNI AD, PKI mampu
menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka
Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September
yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang
akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya
“Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap
Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel
Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada
sorehari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas
menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi.
Diposting oleh
reiga
Minggu, 12 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar